Catatan Perjalanan 1

PESONA PAPANDAYAN


Foto keluarga bersama rombongan dari Bekasi

Buatku hari itu, tak ada yang lebih indah selain memandangi ciptaan-Nya yang luar biasa. Alam yang sejuk membawa perasaan yang damai. Pesona lukisan Tuhan  membuat diri ini semakin merasa kerdil. Maha Besar Allah atas segala ciptaan-Nya.

Pukul  7 malam, kami bertolak dari Bandung menuju Garut. Kami memilih perjalanan malam agar lalu lintas tidak terlalu ramai dan tidak merasa gerah sepanjang jalan. Kendaraan umum yang akan kami naiki sudah menunggu penumpang sejak tadi. Para supir dan kondektur berseru-seru mencari penumpang.  Lalu, kami putuskan untuk menggunakan elf jurusan Cicaheum-Cikajang.

Ransel yang kami gendong dibawa oleh sang kondektur,  dipikulnya agar ransel kami tersimpan manis di dalam bagasi. Setelah elf penuh dengan penumpang, supir mulai melajukan kendaraannya.
Malam yang hangat ditemani kerlipnya lampu kota. Aku lebih suka memandang ke luar jendela mobil sambil sesekali aku berceloteh tentang apa yang aku temui kepada guide di sebelahku ini. Mobil elf terus melaju, meninggalkan Bandung dan memasuki Garut. 

Kurang lebih empat jam, mobil sudah memasuki wilayah Cisurupan, Garut. Ini merupakan titik awal kami bertualang ke Pegunungan Papandayan. Suara desing kendaraan sudah tak terdengar. Lalu lintas sudah sepi. Ah, ternyata sudah pukul setengah dua belas malam. Kami melenggang  mencari kendaraan menuju tempat parkir kawasan Papandayan. Ada dua pilihan yang ditawarkan, menggunakan ojeg atau menaiki kolbak. Kami memutuskan untuk menggunakan kolbak, karena ongkosnya yang lebih murah.

Menikmati malam di kolbak

Tibalah kami di area camp David kawasan Papandayan. Kami mendatangi pos penjaga untuk melapor dan membuat simaksi (surat izin masuk kawasan konservasi). Ini sudah tengah malam, sudah pukul dua belas lewat. Kami dilarang melakukan pendakian karena pada malam hari dikhawatirkan kawah Papandayan mengeluarkan gas yang beracun. Karenanya, kami lalu mendirikan tenda di area camp David untuk sejenak beristirahat menunggu pagi.

Shubuh yang dingin membangunkan kami. Kami berbenah, sholat, sarapan, dan mulai melakukan pendakian. Langkah terayun melewati jalanan yang berkerikil, menyisir pinggiran kawah. Asap mengepul menyemburkan bau belerang yang khas. Lelahnya perjalanan tak terasa karena sepanjang perjalanan kami disapa oleh pemandangan yang gagah. Beberapa pendaki ada yang sudah turun, ada pula yang baru melakukan pendakian seperti kami.



Memasuki Papandayan

Jalan yang berkerikil

Asap mengepul dari kawah Papandayan




Kurang lebih 1,5 jam kami berjalan, kami memutuskan untuk beristirahat di kawasan hutan mati. Meneguk air sambil menikmati cantiknya barisan pepohonan dan kabut yang sudah mulai turun. Pohon cantigi yang menghitam begitu kontras dengan pasir putih yang menghampar. Sungguh, tak ada yang bisa menandingi karya seni yang diciptakan Tuhan.


Walking through the Die Forest

Don't leave me, just here beside me

Menikmati wangi Hutan Mati

Perjalanan berlanjut menuju area Pondok Saladah. Disini banyak ku jumpai ratusan..oh mungkin ribuan pendaki yang mendirikan tenda di sini. Tempat ini memang tempat yang disarankan dan aku kira paling cocok bagi para pendaki yang akan bermalam. Tempat ini aman, karena tidak ada binatang buas yang melewati daerah ini. Terdapat pula sumber air di sini, angin yang berhembus pun tidak terlalu kencang. Kami beristirahat di sini, membuka perbekalan dan memasak.



Makanan yang kami masak cukup untuk mengembalikan energi kami. Perut yang kenyang membuatku sedikit mengantuk. Aku bersandar pada pohon sambil melihat pemandangan di sekitar, melemaskan otot-otot yang sedikit kaku.

Mendung menyapa. Kami harus segera berkemas. Rekanku mengusulkan untuk berkemah semalam lagi di sini. Tapi ternyata perbekalan yang kami bawa tidak cukup sampai esok, maka kami memutuskan untuk pulang.

Untunglah hujan belum datang sehingga perjalanan kami menuruni gunung cukup lancar. Hanya butuh waktu satu jam dari Pondok Saladah menuju tempat parkir. Jika hujan turun, akan lebih beresiko dan memakan waktu yang lebih lama. Jalanan menjadi licin dan rawan longsor di beberapa titik.
Way back into love

Sebetulnya ada lagi tempat yang sama-sama indah dan memanjakan mata di kawasan Papandayan ini, yaitu Tegal Alun. Tegal Alun ini menyuguhkan pemandangan yang khas berupa hamparan bunga Edelweis yang luas. Dari hutan mati, lanjutkan perjalanan ke atas mengikuti petunjuk yang ada. Lama perjalanan kurang lebih 40 menit. Medan yang akan dilalui berupa jalan setapak menanjak, semakin ke atas semakin rapat.

Tegal Alun dengan padang Edelweis nya yang anggun

Gerimis menitik. Untunglah kami sudah sampai di pos penjaga. Setelah melapor, kami turun menuju jalan utama Desa Cisurupan, kali ini menggunakan ojeg. Sebelum menuju Bandung, kami singgah dahulu di sebuah masjid untuk berbenah diri: mandi, berganti pakaian, dan sholat. Tampaknya langit sedang tidak ceria, hujan turun semakin besar. Semangkok baso dan beberapa potong roti bakar kami santap untuk mengisi perut dan menjaga supaya kami tak masuk angin. Setelah cuaca bersahabat barulah kami melanjutkan perjalanan pulang menuju Bandung.



Cinta takkan berarti tanpa kebersamaan
Cinta bermuara di hati dan memberikan kehangatan


Papandayan, Januari 2013

*catatan tambahan:
Update terbaru 2014
ongkos elf cicaheum-cikajang: Rp 35.000,-
sewa kolbak/orang: Rp 25.000,-
Ojeg: Rp 30.000,-
Tiket masuk: Rp 5000/orang/hari
SIMAKSI: Rp 2500/orang/malam

itineary perjalanan
cicaheum-cisurupan: +  4 jam
jalan raya cisurupan-area parkir: 20-30menit menggunakan kolbak
area parkir-pondok saladah: 3 jam
pondok saladah-tegal alun: 40 menit
Newer Oldest

Related Posts

Post a Comment