Bebas Ikuti Kata Hati yang Kami Mau, Inilah Liburan Cara Aku bersama Suami dengan Traveloka

Ada cerita unik saat saya dan suami pertama kali bertemu. Sebetulnya, saya dan suami dulunya bekerja di perusahaan yang sama. Saat itu, beliau sudah jadi karyawan tetap, sementara saya masih jadi mahasiswa magang.

Namun, ruangan saya dan suami berbeda, jadi saya jarang sekali bertemu dengan beliau. Justru kami bertemu pertama kali bukan di tempat kerja, tapi di Gunung Papandayan. Itu pun beberapa hari setelah saya selesai magang.

Dari sana, kami menemukan kecocokan. Ternyata, saya dan suami sama-sama menyukai kegiatan traveling ke tempat yang bernuansa alam.


Traveling Paling Berkesan Saat Bersama Pasangan

Beberapa minggu setelah menikah, kami merencakan untuk berlibur ke Jogja. Menikmati suasana kota nya dan tentu saja puncak gunung yang ada di sana. Rencana kami adalah menjajaki puncak Gunung Merbabu dan Gunung Merapi.

Kebetulan, saya dan suami sama-sama belum pernah berkunjung ke sana. Dan kali ini, kami ingin merasakan liburan tanpa itinerary, tidak seperti biasanya. Kami ingin merasakan kejutan-kejutan apa yang akan hadir selama perjalanan kami.

Pengalaman Berkesan Selama di Gunung Merbabu

Singkat cerita, sampai lah kami di Jogja menggunakan kereta. Selepas turun di stasiun Lempuyangan, kami mencari informasi mengenai bus menuju Magelang.

Tak disangka, kami selalu bertemu dengan orang-orang yang ramah yang sangat membantu kami hingga kami tiba di Basecamp Wekas, Gunung Merbabu. Saya merasa Jogja adalah kota yang sangat hangat karena keramahan warganya.

Sesampainya di Basecamp Merbabu, kami melakukan pendaftaran. Awalnya kami bermaksud untuk mendaki Merbabu via Wekas lalu turun via Selo dan melanjutkan perjalanan menuju Gunung Merapi.

Namun, aturan saat itu tidak mengizinkan kami untuk naik dan turun di jalur yang berbeda. Bahkan, KTP suami saya disimpan di pos agar kami turun kembali via Wekas. Ya sudah, kalau aturannya sudah seperti itu, kita hanya bisa mengikuti. Toh, ini pun demi keamanan dan keselamatan kami juga.

Kami berkemah di Gunung Merbabu selama 3 hari 2 malam. Sebetulnya, jika cuacanya baik, kami bisa saja berkemah semalam saja.

Hari pertama, summit kami gagal. Kami berangkat summit terlalu siang dan di tengah perjalanan kami disambut hujan besar dan petir. Sehingga mau tak mau kami harus kembali ke tenda dan mengulang summit ke puncak esok harinya.


Beruntung persediaan makanan yang kami bawa cukup banyak sehingga kami masih bisa melanjutkan berkemah satu malam lagi.

Alhamdulillah, esok hari, kami berhasil mencapai puncak Merbabu dan disambut dengan cuaca yang sangat cerah.

Puncak Merbabu 3142 MDPL

Dari Merbabu Menuju Dieng

Setelah turun dari Gunung Merbabu, kami sempat bingung akan melanjutkan perjalanan kemana lagi. Rencana awal untuk ke Gunung Merapi terpaksa harus kami tunda. Selain kami tidak bisa melalui jalur Selo, Gunung Merapi saat itu juga sedang ditutup untuk pendakian.

Lalu entah kenapa, tiba-tiba di pikiran saya terlintas nama Dieng dan Gunung Prau. Bak gayung bersambut, salah satu petugas di basecap Merbabu lalu menghubungi rekannya, dan berkata kalau kami bisa ke Gunung Prau. Beliau juga mengantarkan kami ke terminal Magelang.

Kami tiba di Terminal Magelang terlalu sore. Tak ada kendaraan satu pun yang bisa mengantarkan kami menuju Dieng. Lalu, ada dua orang yang menawarkan ojeg. Mereka menjanjikan akan mengantar kami menuju pool bus terakhir jurusan Wonosobo.

"Kalau kalian ketinggalan bus, saya kasih jaminan ongkos akan balik utuh" ucap salah satu dari mereka.

Awalnya kami ragu, karena jujur saja saya takut mereka akan menipu. Tapi keadaan saat itu memang sepi dan kami tidak ada pilihan lain selain ojeg itu. Akhirnya kami mengambil tawaran mereka.

Ternyata Mas-Mas ini benar-benar menepati janjinya. Ia membawa motor dengan kecepatan tinggi, dan membuat saya beristighfar dalam hati berkali-kali 😂

Mereka benar-benar mengantarkan kami sampai bertemu bus. Tak sampai di situ, mereka juga berbincang dengan kondektur agar kami diturunkan di tempat yang paling dekat dengan pemberhentian angkutan menuju Dieng.

Bus melaju dengan kecepatan sedang. Saya dan suami yang saat itu sudah lelah hanya bisa tertidur. Di tengah tidur, kondektur lalu membangunkan kami.

Beliau berkata bahwa angkutan menuju Dieng sudah tidak ada. Beliau menyarankan untuk menginap dulu di sebuah hotel dan berangkat menuju Dieng esok hari. Kami manut.

Hangatnya Persaudaraan di Tengah Dieng yang Dingin

Pagi hari sebelum menuju Dieng, kami sempat berjalan-jalan sebentar di sekitar alun-alun Wonosobo. Kami pergi ke pasar dan membeli panganan khas Wonosobo.

Mengunjungi salah satu pasar Wonosobo

Sekitar pukul 8 pagi kami menumpangi bus kecil menuju Dieng. Ternyata jarak tempuh dari Wonosobo menuju Dieng cukup jauh, sekitar 1 jam perjalanan.

Tiba di Dieng, kami disambut dengan hujan lumayan deras. Kami berteduh sejenak di sebuah warung. Begitu hujan mereda, kami mengisi perut di salah satu kedai bakso.

Penjual bakso di sini sangat ramah. Mereka mengajak kami berbincang. Tak hanya bertanya tentang kami, ia juga mengenalkan kami lebih jauh tentang Dieng.

Setelah ia tahu tujuan kami adalah Gunung Prau, ia lalu mengantar kami menuju rumah saudaranya yang tak jauh dari kedai bakso itu.

"Kalian nginep di sini saja, ke Prau nya lebih baik tektok saja nanti subuh, jangan nge-camp" ucapnya.

Kami kemudian berkenalan dengan pemilik rumah. Mas Mulyono namanya. Beliau memang biasa menjadi guide untuk pendaki yang akan ke Prau. Kamar-kamar di rumahnya pun sering disewakan untuk dijadikan penginapan.

Menariknya, Mas Mulyono tidak memberikan tarif khusus untuk sewa penginapan dan jasa guide. Jujur saja kalau seperti ini malah kami yang bingung. Kami takut memberi harga terlalu murah atau terlalu mahal.

Cuaca di Dieng sangat dingin. Mas Mulyono mengajak kami berkumpul dan menyalakan penghangat alami dari arang yang dibakar. Kalau di sunda, kami menyebutnya dengan istilah siduru.

Malam itu kami merasakan kehangatan yang tercipta. Dari tungku arang, dan dari cerita tentang Dieng yang bersejarah.

Mas Mulyono juga mengajak kami ke rumah orangtuanya. Di sana, kami disuguhi kentang Dieng yang dibakar di dalam tungku.

Perbincangan yang hangat di tengah Dieng yang dingin

Puncak Dieng: Naik Berdua, Turun Rombongan

Sekitar pukul 4 subuh, kami bersiap untuk mendaki Gunung Prau. Mungkin karena sebelumnya kami sudah mendaki Gunung Merbabu yang memakan waktu tempuh 8 jam, kami jadi merasa enteng sekali mencapai Puncak Prau. Ditambah, kami tidak memikul carrier yang berat. Hanya butuh waktu 2 jam saja, kami sudah sampai di puncak.

Sampai di puncak, kami bertemu pendaki lainnya. Beberapa di antara mereka ada yang berasal dari Bekasi, dan ada pula penduduk lokal.

Pendakian kali ini benar-benar seru. Bertemu orang-orang baru, dan merasakan hangatnya persaudaraan dari pendaki yang lain.


Impian Menyapa Tambora yang Melegenda

Selepas mendaki Gunung Merbabu dan Prau dalam waktu yang dekat, kami jadi ingin mendaki gunung yang selama ini jadi wishlist kami, yaitu Gunung Tambora.

Kira-kira ini dia 3 alasan mengapa kami ingin mendaki gunung tersebut:

1. Gunung Tambora adalah Gunung Bersejarah

Gunung Tambora pernah menjadi sejarah buruk di peradaban manusia. Letusannya yang dahsyat, membuat 3 kerajaan di sekitarnya punah, yaitu Kerajaan Tambora, Kerajaan Pekat, dan Kerajaan Sanggar. Lebih dari 70.000 jiwa menjadi korban.

2. Menjadi Pendaki Sebenarnya

Sah-sah saja sebetulnya jika niat mendaki adalah karena trend, atau karena ingin mendapatkan foto-foto yang bagus, lalu menjadikannya konten untuk media sosial. Namun akan lebih baik lagi jika niat itu dibarengi dengan niat untuk mendekatkan diri dengan Sang Pencipta Alam.

Gunung Tambora yang terkenal karena letusannya yang dahsyat memberi arti bahwa gunung adalah elemen penting dalam keseimbangan alam. Kita patut menjaga dan melestarikannya.

3. Menjelajah Nusa Tenggara Barat

Kadang, saya menemukan pertanyaan: lebih suka ke gunung atau ke pantai? Seringnya sih saya jawab ke gunung.

Namun kali ini, saya ingin mengikuti kata hati dan mencoba semuanya. Saya ingin menjelajahi Nusa Tenggara Barat, baik itu ke gunungnya, ke pantai nya, dan berbaur dengan orang lokal di sana, seperti yang saya alami saat di Dieng.

Selepas turun dari Tambora, saya ingin sekali menikmati pantai di Nusa Tenggara Barat yang tak banyak orang kunjungi.

Gunung Tambora. Sumber: wikipedia

Lebih Mudah Rencanakan Itinerary Menuju Gunung Tambora dengan Traveloka

Impian menuju Gunung Tambora pernah saya tuangkan dalam sebuah perencanaan yang saya ketik di microsoft excel. Saya melakukan riset di internet hingga bertanya ke beberapa pendaki di instagram.

Sayangnya, impian itu harus kami tunda karena kami diberi amanah seorang anak. Dan akhirnya, saya pun tidak pernah membuat update dari itenerary ini.

Itinerary yang pernah saya buat di tahun 2016

Kabar baiknya, sekarang ada aplikasi Traveloka yang memudahkan kami untuk melakukan perencanaan perjalanan. Traveloka ibarat aplikasi travel serba ada karena ia menyediakan berbagai macam kebutuhan seorang traveller seperti tiket pesawat, tiket kereta, booking hotel, rental mobil, salon dan spa, makanan, dan berbagai macam experience menarik lainnya yang bisa diakses dalam satu genggaman.

Untuk menuju ke Gunung Tambora, saya harus terlebih dahulu menuju Lombok. Cara paling cepat adalah menggunakan pesawat. Saya bisa mengecek harga di aplikasi Traveloka dan membuat pesanan tiket menuju Lombok.

Dari Lombok, saya harus menuju ke Terminal Mandalika, lanjut ke Calabai, dan menuju desa Pancasila, sebagai desa terdekat dengan Gunung Tambora.

Jika cuaca cerah, saya bisa menghabiskan waktu 2 hari 1 malam saja untuk mendaki Gunung Tambora.

Selepas dari Gunung Tambora, kami berencana untuk menikmati pantai di Nusa Tenggara Barat terlebih dahulu. Untuk ini, kami ingin sekali berlibur di pantai sambil berbaur dengan msayarakat sekitar.

Soal penginapan, saya tak perlu khawatir lagi karena dengan aplikasi Traveloka, saya bisa melakukan booking hotel kapanpun saya inginkan.

Penutup

Hidup selalu saja dihadapkan dengan berbagai macam pilihan. Perkara punya anak segera setelah menikah atau menunda, soal tetap bekerja atau jadi ibu rumah tangga, bahkan pilihan berlibur ke gunung, ke pantai, atau ke kota.

Semua pilihan tentu ada resiko dan kelebihan yang didapat. Saya yakin, dengan mengikuti kata hati, kita bisa menentukan pilihan hidup kita dengan bahagia.

Karena itu, yuk ikuti kata hatimu dan jalani hidup dengn caramu, just #LifeYourWay, be happy, and spread positive vibes to other! :)

Related Posts

Post a Comment